Minggu, 06 September 2015

Kasus Peradilan Islam Pada Masa Sahabat (Kan_komputer)

BAB I
PENDAHULUAN

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi kedudukan beliau yang kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan “Khalifah” artinya yang menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin (pimpinan komunitas Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan hukum-hukum Agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu berdiri diatas kebenaran.
Maka setelah Nabi Muhammad SAW wafat, pemuka-pemuka Islam segera bermusyawarah untuk mencari pengganti Rasulullah SAW. Setelah terjadi perdebatan sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin, akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah, artinya pengganti Rasul SAW yang kemudian disingkat menjadi Khalifah atau Amirul Mu’minin.
Keputusan Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat dan menyerahkan pada forum musyawarah para sahabat merupakan produk budaya Islam yang mengajarkan bagaimana cara mengendalikan negara dan pemerintah secara bijaksana dan demokratis (Yatim,1997:35). Sejak saat itulah Islam memasuki periode baru yang dipimpin oleh Khulafaur Rasydin, terjadi beberapa perubahan dalam corak pemerintahan dan islam semakin berkembang. Khulafaur Rasydin yang terdiri dari Abu Bakar As-shidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, serta Ali bin Abi Thalib memberikan warna tersendiri pada perkembangan peradilan Islam dan akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.





BAB II
PEMBAHASAN
  
1.      Peradilan Pada masa Abu Bakar
Abu Bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634 M. Sebelum masuk Islam, ia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani, ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam ternama. Dan karena hubungannya yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw., beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lainnya. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.[1]
Di masa Abu Bakar tidak tampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan ini, karena kesibukannya memerangi sebagian kaum muslimin yang murtad sepeninggal Rasulullah Saw., dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan pemerintahan lainnya, di samping belum meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa itu.
Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw., yakni ia sendirilah yang memutuskan hukum di antara umat Islam di Madinah. Sedangkan para gubernurnya memutuskan hukum di antara manusia di daerah masing-masing di luar Madinah. Adapun cumber hukum pada Abu Bakar adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad setelah pengkajian dan musyawarah dengan para sahabat.s Dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar ada tiga kekuatan, pertama, quwwat al-syari’ah (legislatif). Kedua, quwwat al-qadhaiyyah (yudikatif di dalamnya masuk peradilan) dan ketiga, quwwat al-tanfiziyyah (eksekutif).
Diriwayatkan, bahwa pada masa Abu Bakar, urusan peradilan diserahkan kepada Umar bin Khattab selama dua tahun lamanya, namun selama itu tidak pernah terjadi adanya sengketa yang perlu dihadapkan ke muka pengadilan, karena dikenalnya Umar sebagai orang yang sangat keras dan juga karena faktor pribadi-pribadi kaum Muslim pada masa itu yang dikenal sebagai sangat saleh dan toleran terhadap sesama Muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka.’ Selama dua tahun, hanya terdapat dua orang yang berselisih dan mengadukan permasalahannya kepada Umar karena beliau terkenal dengan ketegasan yang dimilikinya. Selain itu, Abu Bakar juga mengutus Anas sebagai hakim ke Bahrain.’ Maka tercatatlah dalam sejarah orang yang pertama kali menjadi qadhi dalam Islam pada awal masa khalifah al-Rasyidin adalah Umar bin Khattab.[2]
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
 (… dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.[3]
Langkah-langkah Abu Bakar dalam Istinbath Hukum, sebagai berikut :
1.      Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an.
2.      Apabila tidak menemukannya dalam A1-Qu’ran, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Sunnah.
3.      Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah Rasulullah Saw. Telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
4.      Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk meyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.”

2.      Peradilan Pada masa Umar bin Khattab
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, keadaan daerah kekuasaan Islam semakin luas dan pemerintahan menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya, disebabkan terjadinya pertemuan beberapa kebudayaan, sehingga Umar perlu untuk memisahkan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Kekuasaan Peradilan dan Pemerintahan).
Para hakim pada masa Umar merujuk kepada Al-Qur’an. Jika tidak mendapati hukum dalam Al-Qur’an mereka mencarinya dalam Sunnah. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sesuatu di dalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah di antara mereka terdapat orang yang mengerti sesuatu dalam Sunnah mengenai perkara yang dihadapi. Jika didapatkan, mereka berpedoman dengan apa yang dikatakan orang yang mengetahuinya tersebut setelah dilakukan upaya penguatan. Jika tidak didapatkan, mereka berijtihad secara kolektif jika topik permasalahan terdapat hubungan dengan prinsip-prinsip dasarjamaah, dan berijtihad secara individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus dengan individu.
Di antara hakim di masa Umar adalah Abu Maryam Iyas bin Shabih al-Hanafi, yang diangkat sebagai hakim di Bashrah, kemudian dipecat berdasarkan laporan masyarakat tentang kelemahannya. Pemecatan itu disebabkan bahwa Umar mendengar ketika Abu Maryam sedang menyelesaikan perselisihan dua orang tentang uang satu dinar, maka Abu Maryam mendamaikan keduanya dengan menyerahkan dinar dari uangnya sendiri. Maka Umar menulis Surat kepadanya, “sesungguhnya saya tidak menugaskan kamu untuk memu- tuskan hukum di antara manusia dengan uang kamu. Tapi saya menugaskan kamu agar kamu memutuskan di antara mereka dengan kebenaran”.

3.      Peradilan Pada masa Usman bin Affan
Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung dari tahun 644-656 M. Ketika dipilih, Usman telah berusia 70 tahun. Di masa pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan ke Barat sampai ke Maroko, ke Timur menuju India, dan ke Utara bergerak menuju Konstantinopel.
Usman bin Affan adalah orang pertama yang mengkhususkan kantor untuk peradilan, sedangkan peradilan dalam masa dua khalifah sebelumnya dilaksanakan di masjid. Usman selalu bermusyawarah dengan Ali dan yang lain sebelum mengeluarkan hukum. Usman pernah menawarkan jabatan peradilan kepada Abdullah bin Umar, namun ditolak meskipun Usman mendesak, dan Abdullah bin Umar berkata kepadanya: “apakah kamu tidak mendengar Rasulullah Saw, bersabda: “barangsiapa yang mohon perlindungan kepada Allah, maka lindungilah dia”, dan soya berlindung kepada Allah jika saya menjabat dalam peradilan“.
Peradilan pada masa Usman sama seperti peradilan di masa dua sahabat sesudahnya. Usman mengutus petugas-petugas sebagai pengambil pajak dan penjaga batas-batas wilayah untuk menyeru amar ma’ruf nahi munkar, dan terhadap masyarakat yang bukan Muslim (ahli dzimmah) berlaku kasih sayang dan lemah lembut serta berlaku adil terhadap mereka. Utsman memberikan hukuman cambuk terhadap orang yang biasa minum arak, dan mengancam setiap orang yang berbuat bid’ah dikeluarkan dari kota Madinah, dengan lemikian keadaan masyarakat selalu dalam kebenaran. Usman bin Affan tidak mengangkat hakim di Madinah hingga dia meninggal dunia.

4.      Peradilan Pada masa Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib memerintah dari tahun 656-662 M. Sejak kecil is dididik dan diasuh oleh Nabi Muhammad Saw. Ali sering kali ditunjuk oleh Nabi menggantikan beliau menyelesaikan masalah-masalah penting. Semasa pemerintahannya Ali tidak banyak dapat berbuat untuk mengembangkan hukum Islam, karena keadaan negara tidak stabil. Di sana sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam.
Nabi Muhammad Saw. telah bersaksi bahwa peradilan sebagaimana yang diputuskan Ali, atau umatku yang terbaik peradilannya adalah Ali, atau yang terbaik peradilannya di antara kamu adalah Ali. Para sahabat juga bersaksi, di antaranya Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah, bahwa Ali adalah penduduk Madinah yang terbaik hukumnya. Umar juga berkata tentang dia: “yang terbaik hukumnya di antara kami adalah Ali”. Bahkan Umar berlindung kepada Allah SWT. dari kesulitan yang terjadi jika tidak terdapat Abu al-Hasan, di mana dia mengatakan, `Jikalau bukan Ali, niscaya Umar akan binasa”.
Ali menetapkan hukum di antara manusia selama di Madinah. Ketika keluar ke Bashrah dia mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai gantinya di Madinah, dan mengangkat Abu Aswad al-Du’ali dalam masalah pemerintahan di Bashrah dan sekaligus dalam peradilan. Namun kemudian, dia dipecat setelah beberapa waktu karena banyaknya dia berbicara. Sebab bicaranya melebihi pembicaraan dua pihak yang berseteru (penggugat dan tergugat). Ali mengangkat al-Nakha’i sebagai Gubernur di Ustur. Ali berpesan agar al-Nakha’i bertakwa kepada Allah Swt., agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan kepada rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih penasihat-penasihat. Ali juga menjelaskan tentang siasat pemerintahan. la berkata (memesan) tentang khusus urusan qadhi:
di antara rakyatmu yang engkau pandang mampu yang tidak disibukkan oleh urusan-urusan lain dan anjurkanlah ;gar mereka bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya”.
Pada periode ini, para Qadli mulai mempunyai juru tulis (Panitera),” Sekretaris ” yang mencatat dan menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya.





















BAB III
PENUTUP

1.       Kesimpulan
Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh memberikan fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya dalam Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur’an maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma’
Seperti Abu Bakar, umar, atau dengan menyumpah pembawa sunnah tersebut atas kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Pada periode ini, para Qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya, karena Qadli lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya, demikian juga qadli pada masa itu belum mempunyai tempat kusus (Gedung Pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berpekara itu datang kerumahnya, lalu diperiksa dan diputuskan disitu juga. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikn tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungsi masjid yang sebenarnya tidaklah sebatas hanya untuk melakukan sembahyang saja, tetapi merupakan pusat bagi pemecahan segala urusan sosial, seperti pengadilan, pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah.

2.      Saran
Demikianlah makalah singkat ini, kami menyadari banyaknya kekurangan didalam penyusunannya. Maka dari pada itu kami meminta maaf dan Kami mengharapkan kepada para pembaca, teman-teman dan Bapak Dosen Pembimbing untuk memberikan kritik dan saran agar makalah kami ini menjadi lebih baik dimasa yang akan datang. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.



DAFTAR PUSTAKA

Alaiddin Koto, Prof. Dr. M.A (et.al)., Sejarah Peradilan Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2011.

Hasbi Ash-Shaddieqy, TM., Peradilan & Hukum Acara Islam, Semarang : Pustaka Zikra, 1997.


http://wordpress.com/sejarah+peradilan+islam masa+khulafaur+rasyidin.html.








MAKALAH

Judul :
Kasus Peradilan Islam Pada Masa Sahabat

STAI HITAM PUTIH.jpg








DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

1.      ANDRE RENATA
2.      ANITA
3.      AMALIA
4.      BASIRULLOH

SEMESTER : II

Dosen : Drs. Tas’an, M.Ag




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) NATUNA
2015

 

KATA PENGANTAR



Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mencurahkan nikmat dan rahmatNya kepada kita semua yang tidak terhingga, oleh karenanya wajib bagi kita untuk senantiasa bersyukur keapda Allah SWT.
Syalawat dan salam tidak lupa pula kita hantarkan kepada Nabi kita Nabi Muhammad SAW, keluarga beliau, shabat beliau, dan orang-orang yang yang senantiasa mengikuti sunnah beliau sampai akhir zaman.
Dalam kesempatan ini kami sebagai penulis mudah-mudahan Allah SWT memudahkan kami untuk melaksanakan tugas makalah yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan, dan mudah-mudahan Allah SWT mudahkan kami untuk mengerjakan makalah ini.



Ranai,   April 2015



Penulis

i
 

 


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................         i
DAFTAR ISI .........................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................        1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................        2
1.      Peradilan Pada masa Abu Bakar ......................................................        2
3.      Peradilan Pada masa Umar bin Khattab ...........................................        4
4.      Peradilan Pada masa Usman bin Affan.............................................        5
5.      Peradilan Pada masa Ali bin Abi Thalib ...........................................        6
BAB III PENUTUP ..............................................................................        8
1.       Kesimpulan ......................................................................................        8
2.      Saran .................................................................................................        8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................        9




[1] Alaiddin Koto, Prof. Dr. M.A (et.al)., Sejarah Peradilan Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hal:58.
[2] Alaiddin Koto, Op. Cit., hal : 59-69.

HAM dalam Hukum Islam (Kan_komputer)

BAB I
PEDAHULUAN

Islam, seperti kita ketahui bersama, adalah ajaran yang dinamis. Yang selalu mendorong umatnya untuk selalu menemukan hal-hal baru demi kemajuan umat manusia. Sepanjang keberadaannya, Islam telah membangun sebuah peradaban yang besar yang sudah memberikan sumbangan yang sangat menentukan dalam sejarah peradaban umat manusia hingga kezaman kita sekarang ini. Demikian pula sumbangannya dalam rangka mengakui harkat dan martabat manusia. Tidaklah berlebihan jika kita mengatakan bahwa Islam adalah agama kemanusiaan (Religion of Humanity).
            Ajaran-ajaran islam yang melindungi harkat, martabat dan Hak Asasi Manusia itu tidak lain dikarenakan Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran-ajaran Islam yang merupakan himpunan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, adalah merupakan kitab yang berfungsi “memberikan petunjuk dan penjelas atas petunjuk itu (al-bayan) serta pembeda” antara kebenaran dan kesalahan (al-furqan). Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 185 yang artinya; bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
            Selain itu, apa yang telah Nabi Muhammad SAW sampaikan tentang ajaran-ajaran Islam telah mencakup segala aspek kehidupan manusia, dari mulai bangun tidur hingga ia bangun kembali dari tidurnya. Hanya saja, dalam beberapa hal atau permasalahan keterangan yang diberikan masih sangat universal. Justru disinilah, Nabi mengajak umatnya untuk menggunakan akal fikirnya agar mereka dapat bersaing dalam menghadapi perubahan dan perkambangan zaman.
            Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi pusat perhatian masyarakat internasional sejak abad ke 17 M. dan hingga saat ini Hak Asasi Manusia masih menjadi isu yang hangat dan banyak diperbincangkan di kancah nasional maupun internasional.






BAB II
HAK ASASI MANUSIA

            Kata “Hak Asasi Manusia” mempunyai dua artian, arti yang pertama yang menyangkut dengan Hak, dan arti yang kedua menyangkut dengan yang mempunyai Hak itu, yaitu Manusia dari segala etnis, ras, agama, suku, jenis kelamin laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya.
            Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 80 yang artinya; Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
            Ada beberapa pandangan menyangkut arti dari Hak Asasi Manusia itu sendiri, yang antara lain dari pandangan para fuqaha, mereka berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan syari’ah untuk manusia atau dari Allah SWT untuk manusia semuanya. Selain itu ada banyak pendapat mengenai arti dari Hak Asasi Manusia, yang diantaranya;
            Miriam Budiardjo memandang bahwa Hak Asasi Manusia adalah Hak yang dimiliki manusia yang dibawanya semenjak sebelum ia dilahirkan kedunia. Dan ini merupakan suatu hak yang asasi yang dimiliki manusia tanpa memandang perbedaan Suku, Ras, Agama atau Jenis.
            Dari Comite Hak Asasi Manusia PBB dalam Teaching Human Right, United Nation, Jan Materson memandang bahwa Hak Asasi Manusia sebagai mana yang dikutip oleh Burhanuddin Lopa adalah, “Human right could be genetally defined as those right which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being[1], jadi Jan Materson memandang bahwa Hak Asasi Manusia adalah Hak-hak asli yang dimiliki manusia, yang tanpanya manusia tidak dapat hidup sebagai mana mestinya.

A.    Asas Hak Asasi Manusia dalam Islam
            Islam adalah agama yang sempurna yang menyentuh segala aspek kehidupan manusia, didalamnya terdapat hukum-hukum poilitik, tata negara, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya dari sisi kehidupan manusia. Dari pada itulah, umat islam dalam kehidupan sehari-harinya selalu berlandaskan pada dua sumber utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, yang terkandung didalamnya konsep-konsep Hak Asasi Manusia, yang diantaranya; Hak Hidup (Al-Isra’: 33), Hak Untuk Mendapatkan Pekerjaan dan Bekerja (Al-Baqarah: 188, An-Nisa: 29 dan 32, dan surah Al-Jumu’ah: 1), Hak Atas Kehormatan (An-Nur: 27, Al-Hujurat: 11 dan 12), Hak Untuk Mengemukakan Pendapat (An-Nisa: 59), Hak Kebebasan Beragama dan Toleransi Beragama (Al-A’raf: 33, Al-Baqarah: 256, Al-An’am: 108, Yunus: 99, Al-Ankabut: 46, dan surah Al-Mumtahanah: 8), Hak Persamaan di Muka Hukum (An-Nisa: 58) dan Hak Bebas dari Rasa Takut (Al-Maidah: 32).
Inilah prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur’an. Dan dalam Islam ada lima asas-asas yang mendasari Hak Asasi Manusia, yaitu[2];
a. Tauhid,
b. Manusia Berasal dari Satu Nenek Moyang yaitu Adam,
c. Da’wah kepada akhlak yang mulia,
d. Penghormatan Islam kepada Manusia,
e. Kehalifahan manusia didunia.
Selain itu ada dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan Hak Asasi Manusia dalam Islam, yaitu[3];
a. Hak-hak asli manusia yang sudah atau telah ditentukan dalam Islam untuk setiap manusia.
b. Yang kedua ialah hak-hak yang diberikan oleh Islam kepada segelintir golongan atau orang tertentu, dan dalam keadaan tertentu pula. Seperti, hak-hak khusus bagi orang yang bukan Islam, hak-hak untuk perempuan, hak-hak anak dan lain sebagainya.
Maka, dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pemikiran Hak Asasi Manusia terdapat suatu prinsip yang sangat penting dan fundamental, yang mempunyai artian yang sangat luas dan memiliki penafsiran yang berbeda-beda antara satu negara dan negara lain, bahkan bisa perbedaan itu juga bisa disebabkan oleh adanya perbedaan ideologi antar individu bahkan antar negara dan agama.

B.     Piagam Madinah
Kelahiran Piagam Madinah tidakla lepas dari adanya hijrah Nabi Muhamad SAW dari Makkah ke Madinah, dan merupakan kepanjangan dari dua perjanjian sebelumnya yaitu bai’at aqabah 1 dan 2. Dan setelah hijrahnya Nabi ke Madinah, maka muncullah masyarakat Islam yang damai, tentram dan sejahtera di Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, dan beberapa kabilah arab dari Yahudi dan kaum musyrik Madinah. Dan setelah itu, maka Madinah menjadi pusat bagi kegiatan keislaman dan perkembangan dunia Islam.
Dengan tercapainya kesepakatan antar kaum di Madinah, maka semakin heterogenlah masyarakat yang menduduki Madinah. Selain itu, perjanjian ini juga menjadi sangat penting bagi diri Nabi sendiri. Piagam madinah ini secara tidak langsung menunjukkan kapasitas Nabi sebagai seorang pemimpin dan politikus yang ulung, ditandai dengan;
a.       Keberhasilan Nabi Muhammad SAW menyatukan umat Islam dalam satu panji, yaitu Islam, dengan mengabaikan perbedaan suku, ras dan kabilah. Dan menyatukan hati semua kaum muslimin dalam satu perasaan.
b.      Menjadikan agama sebagai alasan yang paling kuat, sebagai pengerat antar umat mengalahkan hubungan antar keluarga.
c.       Bahwa ikatan yang terbangun atas dasar agama terdapat didalamnya hak-hak atas setiap individu, dan tercapainya kedamaian dan ketentraman umat.
d.      Adanya kesamaan hak antara kaum muslimin dan yahudi dalam hal maslahat umum, dan dibukannya pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin memeluk agama Islam dan melindungi hak-hak mereka.
Pagam madinah sendiri terdiri dari 70 pasal, dan ditulis dalam 4 tahapan yang berbeda. Pada penulisan pertama terdapat 28 pasal, yang didalamnya mengatur hubungan antara kaum muslimin sendiri. Pada penulisan yang kedua ada 25 pasal yang mengatur hubungan antara umat Islam dan Yahudi. Dan penulisan yang ketiga terjadi setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-2 Hijrah, yang merupakan penekanan atau pengulangan dari pasal pertama dan kedua. Sedangkan pada tahap yang keempat ini hanya terdapat 7 pasal dan mengatur hubungan antara kabilah yang memeluk Islam.

C.    Periwayatan Piagam Madinah
            Ibnu Katsir meriwayatkan dalam Bidayahnya dari Muhammad ibnu Ishak dengan tanpa sanad, beliau berkata (Rasulullah SAW telah menulis sebuah perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar, dan juga Yahud; Bismilah hirrahman nirrahim, ini perjanjian dari Muhammad SAW dengan Muslimin dan Mu’minin dari Kuraisy dan Yastrib, dan siapa saja yang mengikuti mereka.
            Selain itu ada juga riwayat lain yang meriwayatkan Piagam Madinah ini, yaitu dari Imam Ahmad, dari Afan, dari Hamad bin Salamah, dari Asim Al-Ahwal, dari Anas bin Malik; Rasulullah SAW membuat sebuah perjanjian antara Muhajirin dan Anshar dirumah Anas bin Malik. Dan telah diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad, Bukhori, Muslim, dan Abu Daud dari berbagai sumber, dari Asim bin Sulaiman, dari Anas bin Malik. Beliau berkata, Rasulullah SAW telah mengadakan perjanjian antara Quraisy dan Anshar dirumahku. Selain itu, Imam Ahmad berkata, telah berkata kepada kita Nasr bin Baab, dari Hajjaj, dia berkata; Suraij telah berkata kepada kita, dari Abad, dari Hajjaj, dari Umar bin Syuaib, dari Ayahnya, dari Kakeknya; Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengadakan perjanjian antara Muhajirin dan Anshar.
Inilah sekilas tentang periwayatan Piagam Madinah yang diriwayatkan oleh beberapa perawi dan ahli hadist terkemuka, yang merupakan undang-undang negara pertama di dunia, yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW.

D.    Hak Asasi Manusia Dalam Piagam Madinah
            Perjuangan panjang masyarakat barat dalam menegakkan Hak Asasi Manusia yang ditandai dengan munculnya Magna Charta hingga Universal Declaration of Human Right, ternyata telah terlebih dahulu di dahului umat Islam, yaitu dengan adanya Piagam Madinah yang menjadi tonggak awal berdirinya Negara Islam di bawah panji Islam.
            Piagam Madinah, yang merupakan piagam tertulis pertama di dunia ini telah meletakkan dasar-dasar Hak Asasi Manusia yang berlandaskan Syari’at Islam. Pada awal pembukaan Piagam Madinah telah disebutkan bahwa semua manusia itu adalah umat yang satu, yang dilahirkan dari sumber yang sama, jadi tidak ada perbedaan antara seorang dengan orang lain dalam segala hal. Namun dalam islam ada satu hal yang membuat seorang dianggap lebih tinggi derajatnya dimata Allah, yaitu kadar imannya, jadi bukan dilihat dari warna kulit, suku, ras, Negara dan jenis kelaminnya, namun kadar iman seseorang itu yang membedakannya dengan orang lain.
          Selain adanya persaman hak diantara setiap manusia, Piagam Madinah juga mengakomodasi adanya kebebasan (yang dimaksud kebebasan disini adalah kebebasan yang masih dalam ruang lingkup syari’ah) yang berbeda dengan kebebasan yang terdapat dalam undang-undang lain pada masa sekarang ini, yang mengedepankan hawa nafsu manusia daripada ketentuan syari’at.
            Dalam masalah kebebasan ini, yang dengannya terjaminlah segala kemaslahatan manusia dari segala bentuk penindasan, ketakutan, dan perbudakan. Selain itu, kebebasan juga menjadikan manusia seperti apa yang dikehendaki Allah SWT, sebagai khalifah Allah di bumi ini dan hambanya sekaligus.
            Dari uraian diatas dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa Hak Asasi Manusia yang dimaksud oleh Piagam Madinah adalah Persamaan antara setiap individu manusia dalam segala segi kehidupan bermasyarakat, dan juga kebebasan manusia dalam beragama dan hormat-menghormati antar pemeluk agama, Hak-hak politik yang di tandai dengan adanya persamaan hak antara setiap manusia di muka hukum dan social politik.

E.     Asas Hak Asasi Manusia dalam Piagam Madinah
            Hikmah dari kemanusiaan yang ada dalam Islam adalah; Persaudaraan, Kebebasan dan Persamaan. Dan Islam, menyeru kepada ketiganya itu, menempatkannya dalam gambaran yang nyata, dan melindunginya dengan akidah dan syari’atnya dengan kuat, dengan tidak hanya mencantumkannya dalam hukum-hukumnya sebagai syair-syair, bahkan Islam telah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari para umatnya.
            Ada dua asas yang sangat mendasar dalam Piagam Madinah, yang tidak terdapat di Negara manapun kecuali Negara yang didirikan dengan dasar agama, pertama, kebebasan beragama, kedua, adalah asas yang mendasari adanya pemikiran kemanusiaan dan persaudaraan, asas yang melindungi persamaan hak dan persamaan kewajiban atas segenap individu dari seluruh warga Negara.
            Pada hakikatnya Piagam Madinah itu mempunyai empat rumusan utama, yang merupakan inti dari keseluruhan pasal yang ada, yaitu;
a.              Persatuan umat Islam dari berbagai kabilah menjadi umat yang satu.
b.              Menumbuhkan sikap toleransi dan tolong-menolong antara komunitas masyarakat yang baru.
c.              Terjaminnya kemanan dan ketentraman Negara, dengan diwajibkannya setiap individu untuk membela Negara.
d.             Adanya persamaan dan kebebasan bagi semua pemeluk agama, dalam kehidupan sehari-hari bersama masyarakat muslim.
            Dari sini, dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam Piagam Madinah adalah;
1.        Persamaan,
2.        Kebebasan beragama,
3.        Hak Ekonomi,
4.        Dan Hak hidup.


F.     Aplikasi Hak Asasi Manusia dalam Piagam Madinah
Persamaan Hak.
Islam adalah agama kemanusiaan, asas dari kemanusiaan ini dalam Islam adalah penghormatannya terhadap manusia melebihi dari pada yang lainnya, tanpa melihat perbedaan warna kulit, ras, suku, jenis kelamin dan kasta. Dalam surah Al-Hujurat ayat 13 diterangkan bahwa, Allah menciptakan semua manusia bebeda-beda dan bersuku bangsa bukanlah untuk saling menindas, saling menghina, dan saling menjatuhkan. Tapi, perbedaan ini ditujukan semata-mata agar semua manusia saling mengenal antara yang satu dengan yang lainnya, dan saling melengkapi kekurangan dan kelebihan masing-masing.
            Tak terbantahkan lagi, bahwa dalam Islam semua manusia bersaudara, mereka adalah anak dari satu ayah dan satu ibu yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Ini sebagai mana yang telah diterangkan Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat yang pertama.
            Sebagai contoh nyata, dapat kita lihat pada masa Rasulullah, yaitu pada waktu hijrah dari Mekah ke Madinah. Kaum Anshar yang pada saat itu menerima kedatangan saudaranya Muhajirin dengan tangan terbuka, dan bahkan diantara mereka ada yang memberikan sebagian hartanya untuk menolong saudaranya yang meninggalkan semua harta bendanya demi menjaga keutuhan iman mereka dari rongrongan kaum musrik Mekah.
            Maka, dengan hangatnya sambutan Anshar atas saudara mereka Muhajirin yang berhijrah demi agama dari Mekah ke Madinah inilah yang menjadikan mereka (Anshar) sebagai suritauladan yang sangat baik dalam penegakan Hak Asasi Manusia dalam Islam dengan tidak membedakan status sosial yang ada, mereka dengan suka rela menolong saudara mereka seiman yang sedang mempertahankan iman mereka.












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Pembahasan yang menyangkut masalah Hak Asasi Manusia sangatalah luas dan akan terus berkembang seiring dengan peradaban yang dicapai manusia, dari isu yang paling sederhana sampai pada tahapan yang sangat kompleks.
            Selain itu, Piagam Madinah yang menjadi tonggak sejarah penyebaran Islam di Madinah dan berdirinya negara Islam di dunia. Dan tak dipungkiri bahwa Piagam Madinah yang ternyata adalah suatu piagam atau perjanjian tertulis pertama yang dibuat manusia sepanjang sejarah hidupnya.
            Dalam pembahasan ini (Hak Asasi Mansia Dalalam Piagam Madinah), dapat disimpulkan akan konsep Hak Asasi Manusia yang diusung Piagam Madinah dan asas Hak Asasi Manusia dalam Piagam Madinah.
            Jadi konsep Hak Asasi Manusia dalam Piagam Madinah adalah,
1.        Manusia adalah sama, dalam segala kehidupan bermasyarakat.
2.        Adanya hak hidup bagi setiap individu manusia.
3.        Kebebasan beragama bagi setiap pemeluk agama.
4.        Adanya persamaan hak bagi setiap orang dimuka hukum dan diranah politik.















DAFTAR PUSTAKA

Musthafa Kamal Pasha. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri. 2002).
 Suyuthi Pulungan. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994).
 Slamet Warto Wardoyo, dalam Muladi. Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. (Bandung: Refika Aditama, 2005).
Tim ICCE Universitas Islam Indonesia Jakarta. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demoktasi, Hak Asasi Manusia, dalam Masyarakat Madani. (Jakarta: Kencana 2005).



MAKALAH KELOMPOK
(Di Ajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Islam Dan HAM)


Judul :
HAM dalam Hukum Islam

STAI HITAM PUTIH.jpg








DISUSUN OLEH :

1.      FENI SARTINA
2.      PUTRI MUSTIKA
3.      WAN EMY PRASTIYA
4.      MOHAMAD ZAID
5.      KALIMA SARI

SEMESTER : IV
PRODI : HPI / JINAYAH






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) NATUNA

 
2015
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mencurahkan nikmat dan rahmatNya kepada kita semua yang tidak terhingga, oleh karenanya wajib bagi kita untuk senantiasa bersyukur keapda Allah SWT.
Syalawat dan salam tidak lupa pula kita hantarkan kepada Nabi kita Nabi Muhammad SAW, keluarga beliau, shabat beliau, dan orang-orang yang yang senantiasa mengikuti sunnah beliau sampai akhir zaman.
Dalam kesempatan ini kami sebagai penulis mudah-mudahan Allah SWT memudahkan kami untuk melaksanakan tugas makalah yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan, dan mudah-mudahan Allah SWT mudahkan kami untuk mengerjakan makalah ini.



Ranai,   April 2015



Penulis

i
 
 





DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................          i
Daftar Isi .................................................................................................................         ii
BAB I PEDAHULUAN ........................................................................................         1

BAB II HAK ASASI MANUSIA ........................................................................         2
A.    Asas Hak Asasi Manusia dalam Islam ..............................................................         2
B.     Piagam Madinah ...............................................................................................         3
C.     Periwayatan Piagam Madinah ..........................................................................         4
D.    Hak Asasi Manusia Dalam Piagam Madinah ....................................................         5
E.     Asas Hak Asasi Manusia dalam Piagam Madinah ............................................         6
F.      Aplikasi Hak Asasi Manusia dalam Piagam Madinah ......................................         7

BAB III PENUTUP ...............................................................................................         8
A.    Kesimpulan .......................................................................................................         8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................         9
ii
 
 



[1] Burhanuddin Lopa. Al-Qur’an dan Hak Asasi Manusia. (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm.1
[2] Simposium Hak Asasi Manusia diantara Syari’at Islam dan Undang-undang Dasar. Ibid, hlm. 162-170.
[3] Syaukat Hussain. Hak Asasi Manusia Dalam Islam. (Jakarta: Gema Insani Press. 1996), hlm. 59.